“Layu Sebelum Berkembang”


“Layu Sebelum Berkembang”

By: Imam M. Mangkunegara

SEBAGAIMANA diketahui bahwa, dalam Sistem Siaran Berjaringan (SSB) – seperti diamanatkan oleh UU Penyiaran No 23 Tahun 2002 – Stasiun TV yang saat ini mengudara secara sentral dari Jakarta, TIDAK DAPAT – tepatnya TIDAK BOLEH (LAGI) – memancarkan siarannya ke seluruh pelosok negeri melalui stasiun relay-nya yang ada di daerah.

Untuk dapat diterima oleh pemirsa di daerah, stasiun TV swasta nasional HARUS bekerja sama dengan stasiun televisi lokal yang ada di daerah. Ide dasar dari SSB adalah pemerataan kesempatan bagi investor lokal di daerah untuk dapat berpartisipasi dalam bidang penyiaran (pertelevisian). Nawaitunya adalah, disamping pemunculan ide dan budaya lokal yang terkooptasi oleh siaran yang “Jakarta minded”, segala bentuk kreatifitas di daerah yang terkait seperti rumah produksi, biro iklan serta produk lokal yang selama ini terabaikan, dapat turut terbangun. Namun, dalam siaran pers-nya, beberapa waktu lalu, Departemen Informasi dan Komunikasi, mengundur batas waktu SSB tersebut, dari semestinya 28 Desember 2007, menjadi 28 Desember 2009. Kendala yang diusung manakala menerapkan Undang-undang ini adalah terbentur regulasi, teknis, dan kelembagaan.

Persoalan regulasi, dikarenakan UU No 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran ini mengalami keterlambatan dalam pelaksanaannya, karena adanya proses Judicial Review di Mahkamah Konstitusi. Selain itu, PP No 50 Tahun 2005 Tentang Penyelenggaraan Penyiaran LPS mengalami keterlambatan dalam pelaksanaannya, karena adanya Judicial Review di Mahkamah Agung. Adapun kendala teknis, yakni mengalami keterbatasan infrastruktur untuk menghubungkan induk atau anggota station jaringan dengan station di wilayah provinsi yang sama.

Sedangkan untuk persoalan kelembagaan, pertama ; diperlukan waktu dalam memecahkan asset perusahaan menjadi beberapa badan hukum yang terpisah, khususnya bagi LPS yang sudah go public atau TBK. Kedua, memerlukan investasi yang besar untuk membentuk station-station penyiaran lokal di daerah, seperti SDM, perangkat studio dan materi siaran lokal. Ketiga, perlunya peningkatan kuantitas dan kualitas SDM di daerah. Keempat, masih terbatasnya potensi pasar iklan lokal. Kelima, belum tersedianya regulasi yang mendukung pelaksanaan SSB.

Penundaan pemberlakukan SSB ini oleh pemerintah nampaknya cukup beralasan baik dari sisi yuridis maupun teknis pelaksanaan di lapangan. Adanya “perebutan” kewenangan pemberian ijin bagi sebuah lembaga siaran antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Departemen Komunikasi dan Informasi adalah permasalahan hukum yang memang harus dituntaskan untuk memberikan kepastian hukum bagi lembaga siaran.

Seperti diketahui bahwa KPI – sebagaimana diatur dalam UU Penyiaran – adalah lembaga negara yang ‘diberi’ kewenangan dalam hal pemberian ijin sebuah lembaga penyiaran (Pasal 33 ayat 5 UU No 32 tahun 2002). Namun oleh paket PP 49 – 52 tahun 2005 tentang Penyiaran, kewenangan pemberian ijin tersebut justru diberikan kepada Depkominfo.

Adanya tumpang tindih kewenangan ini membuat KPI mengajukan judicial review atas paket PP 49 – 52 ini kepada Mahkamah Konstitusi, yang pada akhirnya memutuskan bahwa PP Penyiaran tidak melanggar UU No 32 tahun 2002. Artinya kewenangan atas perijinan sebuah lembaga penyiaran kembali dikerkah (dimiliki)oleh pemerintah melalui Depkominfo.

Selain tumpang tindih kewenangan diatas, tentangan atas UU No 32 tahun 2002 dari stasiun TV swasta (nasional) tidak dapat diabaikan begitu saja. Sejak awal RUU ini dibuat, kalangan TV swasta nasional yang merasa dirugikan oleh beberapa ketentuan dalam UU ini berupaya sedemikian rupa agar undang-undang ini batal dilaksanakan.

Ketentuan bahwa mereka (TV swasta nasional) harus melaksanakan kolaborasi siaran dengan TV lokal mendapat tentangan paling keras. Keengganan TV swasta nasional untuk melakukan siaran berjaringan dengan TV lokal tercermin dari pernyataan Asosiasi TV Swasta Nasional saat masih diketuai oleh Karni Ilyas bahwa kerjasama bisnis dengan partner baru yang tidak ditahui reputasinya sangat sulit dilakukan (Koran Tempo, 2002).

Bisa jadi pandangan Karni ini benar. Namun hemat saya, ketidaksetujuan televisi swasta nasional ini lebih karena potensi kerugian kapital yang harus mereka tanggung, baik dari sisi investasi maupun keuntungan jangka panjang saat pemberlakuan SSB. Stasiun relay yang telah mereka bangun di berbagai daerah adalah investasi riil yang tidak lagi fungsional saat SSB diberlakukan.

Padahal, investasi yang mereka keluarkan untuk membangun stasiun relay di daerah tidaklah sedikit. Untuk membangun 1 stasiun relay diperlukan dana mencapai angka 7 miliar rupiah (Koran Tempo, 2002). Sementara dari sisi ekonomi, keuntungan yang selama ini mereka dapatkan dipastikan menurun sebagai akibat profit sharing dengan TV rekanan. Menyadari potensi kerugian ini, TV swasta nasional lebih berupaya agar SSB ini tidak terlaksana ketimbang melakukan persiapan menjalin kerjasama dengan TV lokal.

Ada Apa Dibalik Ini Semuanya?

Simpang siur pemahaman penerapan SSB, diantara banyak kalangan, seolah-olah layaknya melaksanakan peningkatan 200 persen pendapatan per kapita rakyat Indonesia!!! Menurut saya, polemik ini hanya menguntungkan kalangan tertentu. Dalam diskusi-diskusi kecil kami selama ini, khususnya dengan para pelaku penyiaran, terindikasi bahwa kesimpangsiuaran tersebut, tampaknya sebuah kesengajaan yang diciptakan untuk menyediakan argument yang cukup bagi penundaan SSB.

Dalam situasi seperti sekarang, dikuatirkan goodwill menuju SSB kemudian terabaikan. Bahkan kita tidak bisa mendapat kepastian, apakah pada tanggal 28 Desember 2009 nanti, SSB terlaksana, atau malah baru mulai dilaksanakan.

Tuntutan dan seruan KPID di beberapa wilayah kepada TV swasta nasional untuk membentuk perwakilan, stasiun lokal atau content lokal, bahkan menuntut mereka untuk menghentikan siaran di wilayahnya, adalah sebuah contoh kesalahpahaman soal SSB. Televisi Berjaringan semestinya TIDAK diciptakan dengan model “TOP-DOWN” seperti itu. Jika TV swasta nasional menciptakan sendiri jaringannya seperti itu, esensi SSB yang terkait dengan upaya desentralisasi dan demokratisasi industri penyiaran tidak akan tercapai.
Setali tiga uang. Industri penyiaran tetap saja dimiliki oleh segelintir orang. Mereka tetap saja menjadi TUAN RUMAH di semua wilayah penyiaran di negeri ini. Publik lokal hanya menjadi penonton saja. Potensi industri penyiaran lokalpun tidak terberdayakan.

Televisi Berjaringan semestinya diciptakan dengan model “BOTTOM-UP”. Semisal, KPID bersama unsur-unsur lokal (Pemda, DPRD, Kadin, pengusaha, TV lokal, dll.) berupaya menciptakan pra kondisi yang memadai, sedemikian rupa hingga SSB kehilangan alasan untuk tidak dilaksanakan di wilayahnya. KPID bersama mitra lokalnya harus memacu kesiapan industri penyiaran lokal. Bisa dengan cara semakin memberdayakan TV lokal yang telah berdiri dan / atau mendorong berdirinya TV lokal baru. Jika potensi industri penyiaran lokal di suatu wilayah telah mencapai kondisi yang memadai, maka pelaksanaan SSB menjadi MUTLAK untuk dilaksanakan. TV Lokal itulah, baik yang sudah mengudara maupun yang siap mengudara, yang akan menjadi TUAN RUMAH di wilayahnya sendiri, yang telah siap dipinang oleh TV swasta nasional, untuk bermitra jaringan.

Begini pemahaman praktisnya. Bisakah KPID bersama mitra lokalnya memacu berdirinya 10 TV lokal di wilayahnya ? Atau, jika sudah ada TV Lokal yang berdiri, bisakah melengkapinya menjadi 10 TV lokal ? Bahwa tidak ada kanal yang tersedia untuk itu, tidak menjadi masalah. Ada saatnya dimana 10 kanal di setiap wilayah yang dipakai oleh 10 TV swasta nasional itu akan diambil lagi oleh mereka yang berhak untuk itu. Siapa ? Tentu saja industri penyiaran lokal. Ke-10 TV lokal itu. Agar tetap bisa mengudara disana, 10 TV swasta nasional mau tidak mau harus bermitra dengan 10 TV lokal itu. Bukankah seperti itulah semestinya mekanisme ideal Televisi Berjaringan ? Bahwa TV swasta nasional kemudian terlibat membidani lahirnya TV Lokal, janganlah menjadi permasalahan, karena regulasi memungkinkan untuk itu. Atau, jika dipandang TV Lokal itu tidak memiliki kualifikasi profesional standar sebagaimana yang dibutuhkan TV swasta nasional, toh mekanisme kemitraan bisa diatur sedemikian rupa untuk menyelesaikannya. Dengan asistensi, konsultasi, supervisi, dan semacamnyalah. Intinya, dalam skenario seperti ini, secara situasional SSB menjadi layak untuk disegerakan. TV swasta nasional relatif kehilangan kesulitan untuk mengadaptasinya.

Situasi KETERLANJURAN dalam SSB, sebetulnya bisa dimanfaatkan. Idealnya, kanal-kanal ( berikut fasilitas transmisinya) sudah dimiliki oleh industri penyiaran lokal. Lalu, stasiun TV yang ingin mengudara secara nasional menciptakan jejaring di setiap wilayah, bekerjasama dengan industri penyiaran setempat. Sayangnya, di Indonesia sebagian stasiun TV TERLANJUR mengudara secara nasional, berikut kanal serta fasilitas transmisi yang dimilikinya di berbagai wilayah. Regulasi pun baru muncul belakangan. Tapi toh semua ada hikmahnya. Dengan situasi KETERLANJURAN seperti ini, mendirikan TV lokal akan begitu mudahnya. Tanpa perlu membuang sebagian besar investasi untuk fasilitas transmisi. Programming-nya pun tak perlu terlalu berat. Tapi, ini hanya akan menjadi cerdik jika ada kata sepakat untuk sebuah siasat. Masalah lain yang sangat mungkin muncul di tingkat lokal adalah tidak adanya aturan tentang peran broadcasting and production body. Stasiun TV selama ini diperbolehkan untuk memproduksi siarannya secara mandiri. Ketiadaan regulasi tentang distribusi tugas dan keleplikan saham antara stasiun penyiaran dan rumah produksi dikhawatirkan akan memunculkan pasar yang monopolis. Akibatnya, kesempatan dan kuntungan – dalam arti luas – yang diperoleh stasiun TV lokal tidak dapat didapat oleh gerbong kreatifitas lainnya; seperti biro iklan, sanggar seni dan rumah produksi lokal.

Menyadari bahwa masih banyak celah yang bisa dimanfaatkan oleh kaum kapitalis dalam UU Penyiaran, peran Komisi Penyiaran Daerah – yang selama ini identik dengan “tukang seleksi proposal” harus lebih fungsional sebagai antisipasi atas pemanfaatan celah perundangan seperti hal diatas. Karena jika itu terjadi, maka esensi pemerataan dan demokratisasi bagi daerah yang diusung oleh UU 32 tahun 2002 akan mubazir dan LAYU SEBELUM BERKEMBANG.

Posted by : h_peace

Tinggalkan komentar